November 21, 2010

Analisis tentang Normatif Hak Asasi Manusia

Analisis tentang Normatif Hak Asasi Manusia

Sebelum kita membahas tentang normatif hak asasi manusia ada baiknya apabila kita memahami apa yang dimakud dengan norma dan norma hukum. Menurut Jimly Asshiddqie dalam bukunnya, ia mengartikan norma atau kaidah (kaedah) merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat positif atau negativ sehingga mencakup norma anjuran untuk mengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk melakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu. Sedangkan yang dimaksud dengan norma hukum merupakan peraturan hidup yang dibuat penguasa Negara, bersifat heteronom yang artinya dapat dipaksakan oleh kekusaan dari luar yaitu kekuasaan Negara.

Dari penjelasan diatas kita dapat membuat suatu kesimpulan bahwa normatif disini adalah sebuah peraturan yang tertulis yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan masyarakat.

Kembali ke topik yang kita bahas tentang normatif hak asasi manusia maka kita akan menemukan beberapa undang-undang yang mengatur tentang hak asasi manusia. Diantaranya adalah didalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 (tentang pengadilan hak asasi manusia), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2005, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005. Sebenarnya banyak undang-undang lain yang mengatur tentang hak asasi manusia, namun undang-undang yang telah disebutkan diatas telah mengatur secara khusus tentang peraturan hak asasi manusia.

Menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan ahrkat dan martabat manusia. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang dimaksud dengan hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Namun yang akan dianalisis adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan di Indonesia menjamin hak-hak dari para korban pelanggaran hak asasi manusia. Jadi, yang pertama yang harus dilakukan adalah memahami dari acuan hierarki perundang-undangan di Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945 yang mengatur tentang hak asasi manusia terdapat dalam pasal 28 pasca amandemen. Didalam pasal tersebut sebenarnya telah mengakomodir semua tentang hak asasi manusia. Namun hanya saja terdapat pengkaburan makna, yang mana diatur dalam pasal 28 A sampai 28 J, yang mana disana berbunyi, “Setiap orang berhak …”, di kata berhak lah yang menjadi pengakburan makna. Berbeda jika bahasanya berbunyi, “Setiap orang wajib…”, jika menggunakan kata ini baru ada kaitannya dengan Equality before The Law (equality before the law adalah asas yang dapat disebut pula merupakan asas persamaan kedudukan di depan hukum, maka dapat dipahami disini semua orang yang disebut sebagai warga Negara Indonesia tanpa terkecuali seluruhnya haruslah dipandang memiliki kedudukan yang sederajat dan sama di mata hukum. Dengan Asas ini diharapkan dapat menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat). Perlu diperhatikan penggunaan kata “berhak” dan kata “wajib” adalah dua kosa kata yang mempunyai perbedaan makna.

Jika dinyatakan “setiap orang wajib mendapatkan perlindungan hak asasi manusia, wajib mendapatkan pendidikan, wajib mendapatkan penghidupan yang layak”, maka disini dijelaskan tidak ada pembedaan. Tetapi jika menggunakan kata “berhak”, maka terjadi pengkaburan makna. Mengapa demikian? Karena yang dimaksud yang “berhak” disini yang mana? Warga Negara yang mana? Atau orang yang mana? Apakah hanya orang yang mempunyai uang yang berhak akan hak ini? Apakah hanya orang-orang yang mempunyai kekuasaan saja? Atau keseluruhan masyarakat? Inilah yang dimaksud terjadi pengkaburan tersebut.

Dan yang selanjutnya adalah kita membahas sejauh mana peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur tentang persamaan hak didepan hukum dan pemerintah, yang mana juga telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen, tetapi apa yang sekarang kita lihat persamaan hak didepan hukum dan pemerintah seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa hanya orang yang mempunyai kuasa atau uang, merekalah yang bisa atau mendapatkan hak yang lebih, dalam artian mereka mempunyai hak-hak lebih. Kita dapat melihat contoh kasus Artalita, yang menghuni lapas perempuan di Jakarta. Kita dapat melihat dengan jelas sekali perbedaan fasilitas antara tahanan yang memiliki uang dan yang tidak mempunyai uang. Dari contoh kasus Artalita tersebut apakah ada persamaan di depan hukum? Saya rasa tidak.

Dan menurut saya masih banyak kasus serupa yang cukup mencerminkan tidak adanya persamaan didepan hukum. Jadi, jika berbicara tentang persamaan di depan hukum dan pemerintah maka hal ini masih jauh dari cita-cita diciptakannya peraturan undang-undang tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar