November 21, 2010

2. Contoh Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia


Kerusuhan 1998

Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan ini dan mereka mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.

Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI karena dwifungsi inilah salah satu penyebab bangsa ini tak pernah bisa maju sebagaimana mestinya. Benar memang ada kemajuan, tapi bisa lebih maju dari yang sudah berlalu, jadi, boleh dikatakan kita diperlambat maju. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari dunia internasional terlebih lagi nasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mecegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan mahasiswa tak bisa dibendung, mereka sangat berani dan jika perlu mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi Indonesia baru.

Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok pertama kali di daerah Slipi dan puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.

Esok harinya Jum'at tanggal 13 November 1998 ternyata banyak mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di depan kampus Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.

Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat dan saat di jalan itu juga sudah ada mahasiswa yang tertembak dan meninggal seketika di jalan. Ia adalah Teddy Wardhana Kusuma merupakan korban meninggal pertama di hari itu.

Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan dan masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernadus R. Norma Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan saat itu juga lah semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu hingga jumlah korban yang meninggal mencapai 15 orang, 7 mahasiswa dan 8 masyarakat. Indonesia kembali membara tapi kali ini tidak menimbulkan kerusuhan.

Anggota-anggota dewan yang bersidang istimewa dan tokoh-tokoh politik saat itu tidak peduli dan tidak mengangap penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun mahasiswa, jika tidak mau dikatakan meninggalkan masyarakat dan mahasiswa berjuang sendirian saat itu. Peristiwa itu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa untuk biaya demokrasi. "Itulah yang harus dibayar mahasiswa kalau berani melawan tentara".

Betapa menyakitkan perlakuan mereka kepada masyarakat dan mahasiswa korban peristiwa ini. Kami tidak akan melupakannya, bukan karena kami tak bisa memaafkan, tapi karena kami akhirnya sadar bahwa kami memiliki tujuan yang berbeda dengan mereka. Kami bertujuan memajukan Indonesia sedangkan mereka bertujuan memajukan diri sendiri dan keluarga masing-masing. Sangat jelas!

Analisis Kasus

Setelah kita membaca sebuah artikel diatas tentang kerusuhan 1998 yang terjadi dibeberapa tempat di daerah Jakarta, maupun diluar daerah Jakarta. Kita dapat menyimpulkan bahwa banyak terjadi pelanggaran HAM, bahkan ada yang termasuk dalam pelanggaran HAM. Salah satu contohnya adalah ketika para mahasiswa dan juga masyarakat luas sedang berunjuk-rasa menentang atau menolak Sidang Istimewa 1998 yang membahas untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan dan juga menentang dwifungsi ABRI.

Ketika itu ratusan ribu mahasiswa dan masyarakat bergerak menuju Gedung MPR/DPR dari segala arah, namun usaha itu tidak berhasil karena penjagaan yang ketat dari personil ABRI. Pada malam hari di hari yang sama terjadi bentrokan yang pertama kali di daerah Slipi. Banyak korban luka-luka dari mahasiswa bahkan satu orang pelajar tewas dalam insiden berdarah tersebut.

Dari salah satu dari sekian banyak pelanggaran HAM dari contoh kasus tersebut kita dapat mengetahui bahwa tindakan ABRI pada saat itu sangat melanggar hak asasi manusia untuk berpendapat. Bukannya para mahasiswa dan masyarkat mengeluarkan aspirasinya justru tindakan arogan dari aparat saat itu. Banyak kejadian yang melanggar HAM bahkan tidak sedikit korban yang berjatuhan baik yang luka-luka ataupun korban jiwa.

Itu menunjukan bahwa pada saat itu hak asasi sebagai manusia tidak berjalan yang menyebabkan banyaknya protes-protes dari kalangan mahasiswa ataupun masyarakat.

Info Menarik yang Mungkin Anda Belum Ketahui di Blog ini

Analisis tentang Normatif Hak Asasi Manusia

Analisis tentang Normatif Hak Asasi Manusia

Sebelum kita membahas tentang normatif hak asasi manusia ada baiknya apabila kita memahami apa yang dimakud dengan norma dan norma hukum. Menurut Jimly Asshiddqie dalam bukunnya, ia mengartikan norma atau kaidah (kaedah) merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat positif atau negativ sehingga mencakup norma anjuran untuk mengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk melakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu. Sedangkan yang dimaksud dengan norma hukum merupakan peraturan hidup yang dibuat penguasa Negara, bersifat heteronom yang artinya dapat dipaksakan oleh kekusaan dari luar yaitu kekuasaan Negara.

Dari penjelasan diatas kita dapat membuat suatu kesimpulan bahwa normatif disini adalah sebuah peraturan yang tertulis yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan masyarakat.

Kembali ke topik yang kita bahas tentang normatif hak asasi manusia maka kita akan menemukan beberapa undang-undang yang mengatur tentang hak asasi manusia. Diantaranya adalah didalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 (tentang pengadilan hak asasi manusia), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2005, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005. Sebenarnya banyak undang-undang lain yang mengatur tentang hak asasi manusia, namun undang-undang yang telah disebutkan diatas telah mengatur secara khusus tentang peraturan hak asasi manusia.

Menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan ahrkat dan martabat manusia. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang dimaksud dengan hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Namun yang akan dianalisis adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan di Indonesia menjamin hak-hak dari para korban pelanggaran hak asasi manusia. Jadi, yang pertama yang harus dilakukan adalah memahami dari acuan hierarki perundang-undangan di Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945 yang mengatur tentang hak asasi manusia terdapat dalam pasal 28 pasca amandemen. Didalam pasal tersebut sebenarnya telah mengakomodir semua tentang hak asasi manusia. Namun hanya saja terdapat pengkaburan makna, yang mana diatur dalam pasal 28 A sampai 28 J, yang mana disana berbunyi, “Setiap orang berhak …”, di kata berhak lah yang menjadi pengakburan makna. Berbeda jika bahasanya berbunyi, “Setiap orang wajib…”, jika menggunakan kata ini baru ada kaitannya dengan Equality before The Law (equality before the law adalah asas yang dapat disebut pula merupakan asas persamaan kedudukan di depan hukum, maka dapat dipahami disini semua orang yang disebut sebagai warga Negara Indonesia tanpa terkecuali seluruhnya haruslah dipandang memiliki kedudukan yang sederajat dan sama di mata hukum. Dengan Asas ini diharapkan dapat menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat). Perlu diperhatikan penggunaan kata “berhak” dan kata “wajib” adalah dua kosa kata yang mempunyai perbedaan makna.

Jika dinyatakan “setiap orang wajib mendapatkan perlindungan hak asasi manusia, wajib mendapatkan pendidikan, wajib mendapatkan penghidupan yang layak”, maka disini dijelaskan tidak ada pembedaan. Tetapi jika menggunakan kata “berhak”, maka terjadi pengkaburan makna. Mengapa demikian? Karena yang dimaksud yang “berhak” disini yang mana? Warga Negara yang mana? Atau orang yang mana? Apakah hanya orang yang mempunyai uang yang berhak akan hak ini? Apakah hanya orang-orang yang mempunyai kekuasaan saja? Atau keseluruhan masyarakat? Inilah yang dimaksud terjadi pengkaburan tersebut.

Dan yang selanjutnya adalah kita membahas sejauh mana peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur tentang persamaan hak didepan hukum dan pemerintah, yang mana juga telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen, tetapi apa yang sekarang kita lihat persamaan hak didepan hukum dan pemerintah seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa hanya orang yang mempunyai kuasa atau uang, merekalah yang bisa atau mendapatkan hak yang lebih, dalam artian mereka mempunyai hak-hak lebih. Kita dapat melihat contoh kasus Artalita, yang menghuni lapas perempuan di Jakarta. Kita dapat melihat dengan jelas sekali perbedaan fasilitas antara tahanan yang memiliki uang dan yang tidak mempunyai uang. Dari contoh kasus Artalita tersebut apakah ada persamaan di depan hukum? Saya rasa tidak.

Dan menurut saya masih banyak kasus serupa yang cukup mencerminkan tidak adanya persamaan didepan hukum. Jadi, jika berbicara tentang persamaan di depan hukum dan pemerintah maka hal ini masih jauh dari cita-cita diciptakannya peraturan undang-undang tersebut.